Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Untuk Perempuan yang Sempat Datang

Bersama puisi perempuan itu datang Mengubah pemikiran Memupuk kedewasaan Memberi pemahaman Dengan berjuta pesan perempuan itu datang Kembali mengingatkan Mengisi kehampaan Menguatkan keimanan Kini perempuan itu kembali datang Selamat tinggal, katanya ‘Tidak!’, hatiku menjerit, mengerang Tak ingin kami berjauhan ‘Waktu kita telah berakhir, Nak’, katanya lagi 'Teruslah berjuang dan raih kesuksesan' Tapi aku menyayangimu, Guruku  Semoga jarak tak menghalangi rasa yang senantiasa kukirim bersama doa Puisi ini dibuat untuk perempuan hebat yang sangat menginspirasi. Guruku. Terimakasih telah membersamai dan membimbingku, Bu. Semoga harummu semakin mewangi tercium seluruh negeri.

Ajari aku tentang langit!

Kau bertanya padaku tentang langit. Apakah aku menyukai langit? Tentu saja aku suka. Ia selalu indah dengan gemintangnya, purnamanya, sabitnya, atau dengan bulan setengah lingkarannya. Ia juga selalu menawan dengan warna-warni pelanginya. Bahkan saat siang meraja ia indah dengan biru bertemankan awannya. Dengan warna kemerahannya kala senja menyapa, ia tak pernah kehilangan pesona. Jika aku boleh meminta, untuk satu saja kesempatan, aku ingin mengamati langit, lebih dekat, lebih jelas, seperti yang kaulakukan malam itu, juga pada malam-malam yang tak pernah aku tahu. Aku ingin membaca rasi, pandai menentukan penanggalan, juga mahir menentukan arah mata angin. Tapi aku tak mengerti langit, juga tentang polusi cahaya yang katamu akan mengganggu pengamatan objek astronomis. Aku hanya mampu menikmati indahnya. Lantas, sudikah kau mengajariku tentang langit? Atau menemaniku menikmati langit, suatu saat, melalui satu bingkai jendela. Rumah, 4 Juli 2015

Yang Hilang Yang Kupendam

Katamu, perasaanku tak ubahnya rumput di padang ilalang Tumbuh subur tanpa perawatan Aku sadar, sepatutnya aku lebih bisa memaknai kehilangan Bak ranting yang ditinggalkan daunnya, seharusnya aku mampu mengikhlaskan kepergian Meski mungkin aku hanya seperti batang, yang coba menopang untuk kemudian kau tebang Seharusnya aku mampu meniru daun, yang jatuh, terinjak, namun tetap menebar manfaat Sepantasnya aku bisa layaknya bunga, yang tak hanya memesona, namun juga berharga Mungkinkah di matamu aku tak ubahnya sebidang tanah gersang? Dan kau bagai cacing yang bahkan tak sanggup bertahan? Perkataanmu sore itu bagaikan angin yang memporakkan hatiku, Bahwa katamu seharusnya aku bisa seperti mentari, sendiri, tapi tetap menyinari Bukan seperti ini Maaf Dan kini, pada akhirnya, aku menyadari, bahwa perasaan ini cukup aku saja yang mengetahui Biarlah kurawat, agar mekar di saat yang tepat, bersama orang yang juga tepat. Lapangan sepak bola, 8 Mei 2015 B...