Citarum Kita Tercemar, Mahasiswa Bisa Apa?
“Kalian kan calon pemimpin. Pemimpin siapa? Pemimpin rakyat. Lalu
siapa yang harus kalian kenali? Ya rakyat itu. Dan mengetahui tentang rakyat
tidak cukup dari membaca buku. Cium aroma tubuhnya, cium kerigatnya, pahami penderitaan
mereka, makan bersama mereka! Lalu baru kalian menjadi pemimpin yang lahir dari
rahim rakyat itu sendiri.”
Kalimat tersebut
adalah apa yang diucapkan politikus Adian Napitupulu kepada para perwakilan
mahasiswa tekait #KartuKuningJokowi dalam acara Mata Najwa baru-baru ini.
Sepenuhnya sepakat? Tidak. Mengingat kewajiban utama mahasiswa adalah menuntut
ilmu, maka hidup dan tinggal bersama rakyat tak selalu bisa dilakukan—membaca permasalahan
melalui berita di media online, tayangan televisi, atau berita di koran
lebih mungkin untuk dilakukan–kecuali jika mahasiswa bersedia menyisihkan
waktunya yang terbatas untuk lebih mengenal masyarakat. Berita yang saat ini
sedang hangat diperbincangkan, namun sedih untuk diperdengarkan, adalah kondisi
Sungai Citarum yang dinobatkan sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.
Sungai merupakan sumber peradaban. Peradaban Mesopotamia kawasannya
dilalui oleh dua sungai besar yaitu Sungai Tigris dan Eufrat. Peradaban Lembah
Indus juga kawasannya dilalui Sungai Indus dan Sungai Ghaggar-Hakra. Begitu pun
peradaban besar Mesir Kuno yang kawasannya dilalui oleh Sungai Nil. Umat
manusia memilih tempat-tempat yang
dilalui oleh sungai besar karena sungai dapat memenuhi kebutuhan primer
manusia: air. Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di
Jawa barat, pun merupakan pusat peradaban.
Keberadaan Sungai Citarum sangat memengaruhi kehidupan ekonomi
warga di sekitarnya. Citarum memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia
sebanyak 20% GDP karena banyaknya industri di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS)
Citarum. Presiden Jokowi dalam pidatonya di Kantor Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Kementerian PUPR, kota Bandung, pada 16
Januari 2018 lalu, mengungkapkan setidaknya ada 3.000 industri yang berada di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, yang naasnya malah mencemari sungai
tersebut. Hamparan industri di sepanjang DAS Citarum ini, di sisi lain, menjadi
petaka bagi masyarakat.
Manusia tempatnya salah dan lupa. Kalimat itu memang benar namun sering
kali dimanfaatkan sebagai sebuah pembenaran atas kesalahan demi kesalahan. Dari
444 pabrik tekstil di sekitar sungai Citarum, 15% persen di antaranya tidak
mempunyai Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Padahal, sebelum membuang air
limbah ke sungai seluruh industri wajib mengolah air limbahnya terlebih dahulu
melalui IPAL agar limbah tersebut tak mencemari sungai dan mengganggu ekosistem
di dalamnya. Apakah 15% pabrik tekstil tersebut lupa? Apakah pencemaran
terhadap lingkungan dapat termaafkan dengan kalimat “manusia tempatnya salah
dan lupa” tersebut? Jawabannya jelas tidak sesederhana itu.
Citarum kita tercemar. Air yang mengalir di Sungai Citarum tercemar
dengan limbah kimia beracun dari industri. Setiap tahunnya, 300 dari 1000 orang
di Indonesia harus menderita berbagai penyakit akibat mengonsumsi air yang
kotor dan tercemar. Oleh karenanya, pemerintah harus memberikan sanksi tegas
kepada seluruh industri yang masih membuang limbah B3 ke Sungai Citarum.
Pemerintah juga harus benar-benar memastikan bahwa seluruh industri yang ada di
DAS Citarum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Namun apakah semua
ini adalah hanya tanggung jawab pemerintah? Mahasiswa bisa apa?
Kelestarian sungai adalah
tanggung jawab kita bersama, tidak hanya pemilik industri, warga sekitar, atau
pemerintah saja. Karena salah satu asas perguruan tinggi adalah pengabdian masyarakat,
maka mahasiswa harus mampu mengimplementasikan keilmuannya untuk terjun
langsung ke masyarakat di samping kehidupan akademiknya. Salah satu hal yang
dilakukan Institut Teknologi Bandung untuk mendukung program #CitarumHarum adalah
dengan menempatkan mahasiswanya untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
daerah sekitar DAS Citarum, di Cianjur. KKN Tematik ini memiliki fokus untuk
membantu masyarakat Citarum untuk memperbaiki keadaan perairan, infrastruktur,
pendidikan, dan ekoagro yang ada di sekitar DAS Citarum. Hal ini juga bisa
dilakukan oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi lain, agar mahasiswa lebih terasah
sisi kemanusiaannya dan ketika suatu hari nanti menggantikan para orang tua
sebagai pemangku kebijakan atau memimpin perindustrian, seluruh tindakannya
lebih berperikemanusiaan.
Referensi:
https://m.katadata.co.id/berita/2018/01/12/cemari-citarum-15-pabrik-tekstil-tak-punya-pengolahan-limbah
(diakses pada 24 Februri 2018)
https://m.katadata.co.id/berita/2018/01/17/jokowi-ada-3000-industri-yang-mencemari-sungai-citarum
(diakses pada 24 Februri 2018)
http://jabar.tribunnews.com/2017/11/18/dulu-citarum-sungai-terkotor-di-dunia-sekarang-citarum-sungai-terhitam-di-dunia
(diakses pada 30 Mei 2018)
http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/0k889APk-mengenal-sungai-sebagai-sumber-peradaban
(diakses pada 30 Mei 2018)
http://www.imtli.or.id/sungai-sebagai-sumber-peradaban/
(diakses pada 30 Mei 2018)
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/toxics/Air/citarum/
(diakses pada 30 Mei 2018)

Komentar
Posting Komentar