How I Move On (2018)

Ini bukan cerita tentang bagaimana saya berusaha melupakan, tapi tentang bagaimana saya berusaha menerima.

Merupakan hal yang wajar ketika kita punya ketertarikan terhadap lawan jenis di masa-masa remaja. Dulu saya pernah merasa jatuh sejatuh-jatuhnya sama seseorang yang sebenernya cuma pernah saya temui beberapa kali. Kami tidak pernah sama sekali menyinggung hal-hal berbau romantisme, tapi saya selalu merasa kedekatan kami lebih dari kedekatan sepasang teman. Suatu hari saya memutuskan untuk mengomunikasikan perasaan saya karena ada banyak sekali ketidak-nyamanan dan ketidak-pahaman saya tentang banyak sikap. Itu sama sekali tidak pernah menjadi hal yang mudah tapi saya bersyukur pernah mengatakannya.

Dia bilang dia punya prinsip bahwa cinta hanya bekal untuk pernikahan. Setiap kali perasaan itu mulai tumbuh, perasaan itu akan segera dia pangkas misalnya dengan menjauh. Katanya pernikahan adalah sesuatu hal yang masih jauh, masih butuh waktu bertahun-tahun lagi, masih ada banyak sekali kemungkinan yang mungkin terjadi, maka lebih baik hal ini tidak pernah dimulai sama sekali. Dia gak mau kami merasa ketergantungan untuk saling bercerita, untuk saling menghubungi, untuk terus membangun harapan, dan itu menjadi alasan kenapa belakangan ini dia menghindar.

Saya bisa menerima penjelasannya dengan sangat baik. Saya sendiri sama sekali tidak mengharapkan hubungan yang lebih dari ini, setidaknya tidak saat ini. Saya juga berusaha sedikit demi sedikit menjauh, tapi saat ada masalah saya selalu kalah dan balik lagi untuk cerita. Ngejauh lagi. Balik lagi. Terus berulang sampai saya merasa berada di titik terendah.

Saya merasa dikendalikan oleh perasaan. Saya cape, saya minder, saya gak tau lagi gimana caranya untuk lupa, dan yang paling menyakitkan adalah saya merasa menjadi manusia yang sangat munafik.
Saya tau ini dosa tapi saya gak pernah berani untuk benar-benar berhenti. Saya selalu berusaha menjaga interaksi sama lawan jenis tapi saya gagal menjaga hati. Saya takut banget jadi perempuan yang katanya adalah fitnah terbesar bagi laki-laki.

Di saat-saat terberat itu saya sungguh-sungguh berdoa,

"Ya Allah, tolong beri saya ketenangan hati. Kalau memang saya belum bisa lupa, tolong tetap beri saya pemahaman yang baik, penerimaan yang baik, supaya saya gak perlu sedih lagi..."

Malam itu penuh air mata. Saya baru tidur tengah malem sekitar jam 1 setelah bersedih ria. Iya saya tau ini berlebihan, makanya saya mau berusaha untuk berhenti.

Besoknya sekitar jam 4 pagi saya tiba-tiba kebangun dalam keadaan seger padahal malemnya saya begadang dan shalat tahajud adalah hal yang udah lamaaaa banget saya lewatkan. Akhirnya saat itu saya bangun, wudhu, tahajud, berdoa (mendoakan hal yang sama), shalat shubuh, terus baca Quran. Saya baca Quran nerusin bacaan kemaren yang kebetulan adalah surat An-nur, dari ayat pertama. Saat baca itu saya merasa, deg... kok pas yaaa? Saya heran sekaligus takjub. Kalian boleh buka suratnya dan baca sendiri apa isinya: hukuman buat pezina, laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, kalau belum sanggup menikah hendaklah menjaga kesucian diri.....

Di situ saya takuuuttt banget. Saya takut kalau perempuan keji yang disebut dalam Alquran itu salah satunya adalah (na'udzubillah) saya, yang mendapat laki-laki yang keji, terus bagaimana dengan cita-cita saya membangun keluarga yang baik? Dari situ saya merasa sangat harus memperbaiki diri. Saya merasa saya harus melakukan sesuatu.

Siangnya waktu saya buka Instagram kebetulan saya liat temen ngepost cuplikan ceramah dari seorang ustad, intinya tentang bagaimana kita harus menutup segala celah yang mengingatkan kita pada seseorang belum seharusnya ada di pikiran kita. You know what i mean. Beliau bilang, gimana bisa kita lupa kalau kita masih stalking media sosialnya, liatin fotonya, bahkan mungkin masih chattingan, telponan? Blokir semua sosmednya! (Yayaya mungkin ini sedikit ekstrem hehe tapi jujur saya merasa terganggu sih karena namanya sering muncul di timeline)

Saya jadi mikir, apakah saya harus melakukan itu ya? Tapi gimana kalau suatu hari dia sadar dan merasa tersinggung? Apakah memutus komunikasi adalah sesuatu yang baik? Gimana kalau suatu hari saya butuh cerita tapi gabisa lagi.... Setelah saya berpikir lebih jauh dan minta saran dari temen, saya memutuskan sesuatu. Saya akan melakukannya.

Malem itu saya ngehubungi dia minta izin untuk ngeblokir semua akun sosmednya dengan ngejelasin alasan-alasan yang membuat saya melakukan hal tersebut. Saya mungkin akan unblock kalau saya merasa udah lebih bisa mengelola perasaan. Saya yakin seharusnya dia paham. Saya cuma butuh waktu. Saya ngetik sambil gemeter, saya bahkan gatau apa yang akan terjadi setelah ini.

Tapi tau ga rasanya setelah itu? Plong. Legaaaa banget rasanya. Saya merasa saya berhasil melepas apa yang selalu membuat saya dilema selama ini: antara suka tapi dosa. Di sisi lain harus saya akui saya sedih juga sih. Saya harus berusaha terbiasa dengan ketiadaannya.

Beruntungnya, temen saya selalu nyemangatin dengan bilang, "Bismillah, ga usah ragu, nanti diganti sama Allah."; "Gausah khawatir dia gimana, sehatkah atau apa, ada Allah yang jagain."; dan itu menjadi salah satu penguat dalam usaha melepaskan satu tahun ke belakang.

Sebuah nikmat banget punya temen yang selalu mengingatkan kita kepada Allah. Semoga kita selalu dikuatkan untuk menjaga hati yaaaa. Semangat gais segala idealisme untuk menjaga perasaan ini akan terbayar.

p.s. mungkin kalian bisa melakukan hal yang lebih baik daripada ngeblokir. Itu cuma hal terbaik yang bisa saya pikirkan pada masa itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya Menyerah!

Tentang Amanah